LAPORAN PRAKTIKUM
MIKROTEKNIK
PERCOBAAN
VII
MASERASI EKSTRAKSI
NAMA :
DEWI SYAMSURYA
NIM
: H411 15 021
KELOMPOK : II (DUA)
HARI/TGL. PERCOBAAN : JUM’AT/24 FEBRUARI 2017
ASISTEN : DEWINTA NUR ALVIONITA
![]() |
LABORATORIUM
BOTANI
DEPARTEMEN
BIOLOGI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Ekstraksi merupakan
salah satu metode pemisahan zat terlarut dengan pelarutnya berdasarkan titik
didih pelarut. Salah satu metode ekstraksi yang biasa digunakan adalah maserasi
(Damanik, dkk., 2014).
Salah satu metode ekstraksi yang biasanya digunakan
adalah maserasi.
Maserasi terlibat dalam
perendaman bahan (kasar atau bubuk) dalam wadah bertutup dengan
pelarut dan didiamkan pada suhu kamar untuk jangka waktu minimum
3 hari.
Maserasi
secara luas digunakan dalam penelitian tanaman obat
(Azwanida, 2015).
Salah satu tanaman obat yang dikenal oleh masyarakat adalah
sirih hijau (Piper betle L.)
yang termasuk dalam kelompok tanaman obat yang mencapai lebih dari 1000 jenis
(Syahrinastiti, dkk., 2015).
Menurut Penelope Oldy, penulis buku Handbook of Over The Counter Herbal Medicine,
daun sirih bersifat astringen, diuretik, anti peradangan, dan memperbaiki
sirkulasi darah (Moeljanto dan Mulyono, 2003).
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukanlah percobaan
ini untuk memperoleh ekstrak dari daun sirih Piper betle melalui metode maserasi ekstraksi.
I.2 Tujuan Percobaan
Tujuan dilakukannya
percobaan ini adalah untuk mengetahui cara pembuatan ekstraksi suatu sampel
menggunakan metode maserasi.
I.3
Waktu dan Tempat
Percobaan
ini dilakukan pada hari Jum’at,
24 Februari 2017 sampai Rabu, 01 Maret 2017. Bertempat di Laboratorium
Botani, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ekstraksi merupakan salah satu
metode pemisahan zat terlarut dengan pelarutnya berdasarkan titik didih
pelarut. Metode ekstraksi terbagi atas dua cara, yaitu maserasi dan soxhletasi.
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simpilisia yang
digunakan dihaluskan berupa serbuk kasar dan dilarutkan dengan bahan
pengekstraksi. Soxhletasi merupakan cara ekstraksi yang dilakukan dalam sebuah
alat yang disebut soxhlet dengan pelarut polar berdasarkan titik didihnya (Damanik,
dkk., 2014).
Maserasi secara luas digunakan dalam penelitian tanaman obat.
Maserasi terlibat perendaman
bahan (kasar atau bubuk) dalam wadah bertutup dengan
pelarut dan didiamkan pada suhu kamar untuk jangka waktu minimum
3 hari. Proses perendamaan bertujuan untuk melunakkan dan memecahkan dinding sel tanaman.
Setelah 3 hari, campuran dilakukan penyaringan. Pelarut yang digunakan dalam proses perendaman pada metode maserasi memainkan peran penting. Pilihan pelarut akan menentukan jenis
senyawa diekstraksi dari sampel (Azwanida,
2015).
Pelarut pilihan utama untuk mengekstraksi
metabolit sekunder yang belum diketahui dan untuk tujuan skrining adalah
metanol, etanol 70%, dan etanol 96%. Ketiga pelarut ini memilki daya ekstraksi
yang luas sehingga metabolit sekunder tersari dalam tiga kali maserasi. Jika
tujuannya untuk mengisolasi dan memurnikan senyawa, maka pelarut organik lain
yang digunakan, yaitu butanol, etil asetat, kloroform, aseton, atau heksana
(Saifudin, 2014).
Pemilihan pelarut pada
proses ekstraksi dilakukan karena pelarut mampu melarutkan senyawa yang akan
diekstrak, mudah dipisahkan dan dimurnikan kembali. Selain pemilihan
pelarut, suhu ekstraksi juga perlu diperhatikan. Suhu ekstraksi
yang terbaik dilakukan adalah kisaran 20⁰C-80⁰C, tetapi suhu yang
digunakan harus dibawah titik didih pelarut yang digunakan (Damanik, dkk.,
2014).
Teori
menyatakan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi, maka penetrasi pelarut makin
mudah masuk ke dalam bahan sehingga ekstrak dari sampel yang terekstrak semakin
banyak (Putra, dkk., 2014).
Selain
maserasi dan soxhletasi, ekstraksi juga dapat dilakukan secara refluks. Refluks
dikerjakan pada kondisi panas diskontinyu. Keuntungan refluks dibandingkan
sokletasi yakni pelarut yang digunakan lebih sedikit dan waktu ekstraksi lebih
singkat dibandingkan dengan maserasi (Putra, dkk., 2014).
Ekstrak adalah
material hasil penarikan oleh air atau pelarut organik dari bahan kering
(dikeringkan). Hasil penyarian tersebut kemudian dihilangkan dengan cara
penguapan menggunakan alat evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental jika
pelarutnya organik. Jika pelarutnya air, pada tahap akhir dilakukan
penghilangan total dengan cara liofilisasi menggunakan alat freeze dryer atau water bath dengan temperatur kurang dari 60⁰C. Hasil dari lifiolisasi akan berupa
serbuk (Saifudin,
2014).
Proses awal
pembuatan ekstrak adalah pembuatan serbuk simplisia. Simplisia dibuat serbuk
sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu ekstrak
dengan dasar beberapa hal, yaitu semakin halus serbuk simplisia proses
ekstraksi semakin aktif (Istiqomah, 2013).
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan
belum mengalami perubahan proses apapun. Umumnya berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia merupakan bahan baku pembuatan ekstrak, baik sebagai
bahan obat atau produk. Simplisia dibagi menjadi tiga golongan, yaitu simplisia
nabati, simplisia hewani, dan simplisia mineral (Istiqomah, 2013)
Simplisia nabati berupa tanaman utuh,
bagian tertentu tanaman, dan eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel
yang secara spontan keluar dari tanaman atau dikeluarkan dengan cara tertentu.
Eksudet tanaman juga dapat diartikan sebagai zat yang dipisahkan dari tanaman
dengan cara tertentu yang belum berupa zat kimia murni (Istiqomah, 2013)
Simplisia hewani
adalah simplisia hewan utuh, bagian tertentu hewan atau zat yang belum berupa
zat kimia murni. Adapun simplisia mineral adalah simplisia yang berasal dari
hasil bumi, baik yang sudah diolah atau belum yang tidak berupa zat kimia murni
(Istiqomah, 2013).
Pengelolan simplisia sebagai bahan baku pembuatan ekstrak
pada umumnya melalui tahapan-tahapan berikut (Istiqomah, 2013):
1. Sortasi basah, hal ini dilakukan untuk
memisahkan kotoran atau bahan lainnya
dari bahan simplisia.
2. Pencucian, untuk menghilangkan tanah
atau kotoran lainnya yang melekat pada bahan simplisia menggunakan air yang
mengalir.
3. Perajangan, dilakukan pada beberepa
jenis bahan untuk membantu proses pengeringan. Semakin tipis atau kecil ukuran
bahan yang akan dikeringkan, maka semakin cepat penguapan air sehingga
mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi, irisan yang terlalu tipis juga
dapat menyebabkan berkurangnya atau hilang zat berkhasiat yang mudah menguap
sehingga mempengaruhi komposisi bau dan rasa.
4. Pengeringan
Pengeringan dilakukan untuk mendapatkan simplisia yang tidak
mudah rusak dan tahan lama. Pengeringan akan mengurangi kadar air dan
menghentikan reaksi enzimatik. Proses pengeringan dapat menghentikan proses
enzimatik dalam sel apabila kadar airnya dapat mencapai kurang dari 10%. Adapun
air yang masih tersisa dalam kadar tertentu dalam simplisia dapat menjadi media
pertumbuhan kapang dan mikroorganisme lainnya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan
adalah suhu, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan, dan luas
permukaan bahan. Suhu optimum pada pengeringan adalah tidak lebih dari 60⁰C, akan tetapi bahan
aktif yang tidak tahan panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu
rendah, misalnya 30⁰C-45⁰C. Pengeringan dapat
dilakukan secara alamiah menggunakan sinar matahari atau diangin-anginkan dan
secara buatan menggunakan alat pengering buatan.
5. Sortasi kering, bertujuan untuk
memisahkan benda-benda asing, bagian tanaman yang tidak diinginkan atau
kotoran-kotoran yang masih tertinggal pada bahan simpisia kering. Sortasi
sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia.
6. Penyimpanan, setelah sortasi kering
maka simplisia ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling
bercampur dengan simplisia yang lainnya, kemudian disimpan dalam rak
penyimpanan. Wadah yang digunakan haruslah inert, artinya tidak mudah bereaksi
dengan bahan lain, mampu melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba,
kotoran, serangga, penguapan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen, dan uap
air.
Ekstrak berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi empat
jenis, yaitu ekstrak encer, ekstrak kental, ekstrak kering, dan ekstrak cair.
Pembuatan ekstrak melalui tahap-tahap berikut (Istiqomah, 2013), yaitu:
1. Pembasahan
Pembasahan
serbuk dilakukan pada penyarian. Cairan penyari memasuki pori-pori dalam
simplisia sehingga mempermudah penyari selanjutnya.
2. Penyari
Cairan
penyari yang digunakan dalam pembuatan ekstrak adalah penyari yang baik untuk
senyawa yang berkhasiat atau aktif. Penyari tersebut dapat dipisahkan dari
bahan atau senyawa kandungan lainnya.
3. Pemisahan dan pemurnian
Tujuan
tahap ini adalah menghilangkan (memisahkan) yang tidak diinginkan tanpa
mempengaruhi kandungan senyawa yang diinginkan sehingga diperoleh ekstrak yang
lebih murni. Proses-proses pada tahap ini adalah pengendapan, pemisahan dua
cairan, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi, absorbsi, dan penukar ion.
4. Pemekatan atau penguapan
Pemekatan
berarti peningkatan jumlah partikel solut (senyawa terlarut) denga cara
penguapan pelarut, tetapi tidak sampai menjadi kering dan ekstrak dihasilkan
menjadi kental atau pekat.
Setelah tahap
ekstrak, dilakukan pengeringan. Ada beberapa metode pengeringan (Saifudin,
2014), yaitu:
1.
Diuapkan di atas water
bath (penguapan), baik sistem terbuka maupun tertutup.
2.
Diuapkan dengan rotaroy
evaporator, digunakan untuk semua pelarut organik, tidak cocok untuk bahan
berair. Air membutuhkan waktu penguapan yang sangat lama.
3.
Liofilisasi (freeze
dryer), digunakan untuk bahan yang berair, tidak untuk pelarut organik.
Tanaman obat menduduki posisi penting karena menjadi sumber penting dari
penemuan obat. Senyawa bioaktif
terdapat banyak pada spesies tanaman
di bumi. Piper betle L. adalah salah satu tanaman obat yang digunakan dalam obat-obatan sebagai hepatoprotektif, analgesik,
antispasmodik, antidiabetes, antivirus, dan antibakteri (Shah, dkk., 2016).
Sirih
termasuk tanaman sulur-suluran atau merambat. Bagian tanaman yang biasanya
dimanfaatkan adalah daunnya. Menurut Penelope Oldy, penulis buku Handbook of Over The Counter Herbal Medicine,
daun sirih bersifat astringen, diuretik, anti peradangan, dan memperbaiki
sirkulasi darah. Esktraknya juga dapat digunakan, baik secara internal maupun
ekstrnal untuk varises serta mencegah dan menyembuhkan radang gusi dan radang tenggorokan
(Moeljanto dan Mulyono, 2003).
Pemakaian daun sirih untuk tanaman obat
disebabkan adanya minyak atsiri yang dikandungnya. Prof. J. F Eykman, Seorang
ahli kimia pada tahun 1885 melakukan upaya pemisahan minyak atsiri dari daun
sirih. Setelah dipisahkan, ternyata sepertiga dari minyak atsiri terdiri dari
fenol dan sebagian besar adalah kavikol. Kavikol ini yang memberikan bau khas
daun sirih dan memilki daya pembunuh bakteri lima kali lipat dari fenol biasa (Moeljanto
dan Mulyono, 2003).
Fenol dapat menghambat aktivitas bakteri dengan
menghambat proses pembentukan dinding sel atau dengan melisiskan dinding sel
yang sudah terbentuk. Mekanisme antibakteri pada proses penghambatan pertumbuhan
bakteri dapat
dilakukan dari ekstrak
daun sirih hijau. Ekstrak daun sirih dengan pelarut etanol mempunyai aktivitas antibakteri
terhadap beberapa bakteri gram positif dan gram negatif yang salah satunya
adalah Escherichia coli (Syahrinastiti, dkk., 2015).
Hasil
ekstraksi daun sirih hijau berupa ekstrak berwarna hijau pekat dan kehitaman,
berbentuk cairan kental dan memiliki aroma yang kuat. Ekstrak berwarna hijau
tua karena di dalam ekstrak masih mengandung klorofil dari daun sirih hijau.
Aroma ekstrak daun sirih hijau dikarenakan kandungan minyak atsiri. Daun sirih
hijau yang diekstrak dengan pelarut etanol 80% dapat menghasilkan ekstrak yang
mengandung senyawa fenol lebih tinggi daripada pelarut air. Ekstrak etanol daun
sirih hijau lebih efektif daripada diekstrak dengan pelarut air dalam
menghambat pertumbuhan bakteri patogen (Putri, dkk., 2012).
Penggunan daun sirih tidak hanya dimanfaatkan sebagai obat
tradisional, namun dalam penggunaan obat modern pula. Penggunaan daun sirih dalam
obat modern adalah ekstraknya
yang berfungsi sebagai tonik yang
baik
untuk pengobatan nyeri saraf
dan kelelahan saraf,
tonik untuk otak, jantung, dan hati. Selain itu, memegang enzim seperti diastase dan
katalase serta
banyak kandungan asam amino esensial,
kecuali lisin, histidin, dan arginin (Dwivedi dan Salini,
2014).
Klasifikasi dari tanaman sirih hijau adalah sebagi berikut (Tjitrosoepomo,
2013).
Regnum : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Piperales
Familia : Piperaceae
Genus : Piper
Species : Piper betle

Gambar 1. Piper betle
Sumber: Review study on potential
activity of Piper betle, Dwivedi dan Shalini, 2014
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ekstraksi merupakan salah satu
metode pemisahan zat terlarut dengan pelarutnya berdasarkan titik didih
pelarut. Metode ekstraksi terbagi atas dua cara, yaitu maserasi dan soxhletasi.
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simpilisia yang
digunakan dihaluskan berupa serbuk kasar dan dilarutkan dengan bahan
pengekstraksi. Soxhletasi merupakan cara ekstraksi yang dilakukan dalam sebuah
alat yang disebut soxhlet dengan pelarut polar berdasarkan titik didihnya (Damanik,
dkk., 2014).
Maserasi secara luas digunakan dalam penelitian tanaman obat.
Maserasi terlibat perendaman
bahan (kasar atau bubuk) dalam wadah bertutup dengan
pelarut dan didiamkan pada suhu kamar untuk jangka waktu minimum
3 hari. Proses perendamaan bertujuan untuk melunakkan dan memecahkan dinding sel tanaman.
Setelah 3 hari, campuran dilakukan penyaringan. Pelarut yang digunakan dalam proses perendaman pada metode maserasi memainkan peran penting. Pilihan pelarut akan menentukan jenis
senyawa diekstraksi dari sampel (Azwanida,
2015).
Pelarut pilihan utama untuk mengekstraksi
metabolit sekunder yang belum diketahui dan untuk tujuan skrining adalah
metanol, etanol 70%, dan etanol 96%. Ketiga pelarut ini memilki daya ekstraksi
yang luas sehingga metabolit sekunder tersari dalam tiga kali maserasi. Jika
tujuannya untuk mengisolasi dan memurnikan senyawa, maka pelarut organik lain
yang digunakan, yaitu butanol, etil asetat, kloroform, aseton, atau heksana
(Saifudin, 2014).
Pemilihan pelarut pada
proses ekstraksi dilakukan karena pelarut mampu melarutkan senyawa yang akan
diekstrak, mudah dipisahkan dan dimurnikan kembali. Selain pemilihan
pelarut, suhu ekstraksi juga perlu diperhatikan. Suhu ekstraksi
yang terbaik dilakukan adalah kisaran 20⁰C-80⁰C, tetapi suhu yang
digunakan harus dibawah titik didih pelarut yang digunakan (Damanik, dkk.,
2014).
Teori
menyatakan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi, maka penetrasi pelarut makin
mudah masuk ke dalam bahan sehingga ekstrak dari sampel yang terekstrak semakin
banyak (Putra, dkk., 2014).
Selain
maserasi dan soxhletasi, ekstraksi juga dapat dilakukan secara refluks. Refluks
dikerjakan pada kondisi panas diskontinyu. Keuntungan refluks dibandingkan
sokletasi yakni pelarut yang digunakan lebih sedikit dan waktu ekstraksi lebih
singkat dibandingkan dengan maserasi (Putra, dkk., 2014).
Ekstrak adalah
material hasil penarikan oleh air atau pelarut organik dari bahan kering
(dikeringkan). Hasil penyarian tersebut kemudian dihilangkan dengan cara
penguapan menggunakan alat evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental jika
pelarutnya organik. Jika pelarutnya air, pada tahap akhir dilakukan
penghilangan total dengan cara liofilisasi menggunakan alat freeze dryer atau water bath dengan temperatur kurang dari 60⁰C. Hasil dari lifiolisasi akan berupa
serbuk (Saifudin,
2014).
Proses awal
pembuatan ekstrak adalah pembuatan serbuk simplisia. Simplisia dibuat serbuk
sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu ekstrak
dengan dasar beberapa hal, yaitu semakin halus serbuk simplisia proses
ekstraksi semakin aktif (Istiqomah, 2013).
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan
belum mengalami perubahan proses apapun. Umumnya berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia merupakan bahan baku pembuatan ekstrak, baik sebagai
bahan obat atau produk. Simplisia dibagi menjadi tiga golongan, yaitu simplisia
nabati, simplisia hewani, dan simplisia mineral (Istiqomah, 2013)
Simplisia nabati berupa tanaman utuh,
bagian tertentu tanaman, dan eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel
yang secara spontan keluar dari tanaman atau dikeluarkan dengan cara tertentu.
Eksudet tanaman juga dapat diartikan sebagai zat yang dipisahkan dari tanaman
dengan cara tertentu yang belum berupa zat kimia murni (Istiqomah, 2013)
Simplisia hewani
adalah simplisia hewan utuh, bagian tertentu hewan atau zat yang belum berupa
zat kimia murni. Adapun simplisia mineral adalah simplisia yang berasal dari
hasil bumi, baik yang sudah diolah atau belum yang tidak berupa zat kimia murni
(Istiqomah, 2013).
Pengelolan simplisia sebagai bahan baku pembuatan ekstrak
pada umumnya melalui tahapan-tahapan berikut (Istiqomah, 2013):
1. Sortasi basah, hal ini dilakukan untuk
memisahkan kotoran atau bahan lainnya
dari bahan simplisia.
2. Pencucian, untuk menghilangkan tanah
atau kotoran lainnya yang melekat pada bahan simplisia menggunakan air yang
mengalir.
3. Perajangan, dilakukan pada beberepa
jenis bahan untuk membantu proses pengeringan. Semakin tipis atau kecil ukuran
bahan yang akan dikeringkan, maka semakin cepat penguapan air sehingga
mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi, irisan yang terlalu tipis juga
dapat menyebabkan berkurangnya atau hilang zat berkhasiat yang mudah menguap
sehingga mempengaruhi komposisi bau dan rasa.
4. Pengeringan
Pengeringan dilakukan untuk mendapatkan simplisia yang tidak
mudah rusak dan tahan lama. Pengeringan akan mengurangi kadar air dan
menghentikan reaksi enzimatik. Proses pengeringan dapat menghentikan proses
enzimatik dalam sel apabila kadar airnya dapat mencapai kurang dari 10%. Adapun
air yang masih tersisa dalam kadar tertentu dalam simplisia dapat menjadi media
pertumbuhan kapang dan mikroorganisme lainnya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan
adalah suhu, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan, dan luas
permukaan bahan. Suhu optimum pada pengeringan adalah tidak lebih dari 60⁰C, akan tetapi bahan
aktif yang tidak tahan panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu
rendah, misalnya 30⁰C-45⁰C. Pengeringan dapat
dilakukan secara alamiah menggunakan sinar matahari atau diangin-anginkan dan
secara buatan menggunakan alat pengering buatan.
5. Sortasi kering, bertujuan untuk
memisahkan benda-benda asing, bagian tanaman yang tidak diinginkan atau
kotoran-kotoran yang masih tertinggal pada bahan simpisia kering. Sortasi
sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia.
6. Penyimpanan, setelah sortasi kering
maka simplisia ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling
bercampur dengan simplisia yang lainnya, kemudian disimpan dalam rak
penyimpanan. Wadah yang digunakan haruslah inert, artinya tidak mudah bereaksi
dengan bahan lain, mampu melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba,
kotoran, serangga, penguapan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen, dan uap
air.
Ekstrak berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi empat
jenis, yaitu ekstrak encer, ekstrak kental, ekstrak kering, dan ekstrak cair.
Pembuatan ekstrak melalui tahap-tahap berikut (Istiqomah, 2013), yaitu:
1. Pembasahan
Pembasahan
serbuk dilakukan pada penyarian. Cairan penyari memasuki pori-pori dalam
simplisia sehingga mempermudah penyari selanjutnya.
2. Penyari
Cairan
penyari yang digunakan dalam pembuatan ekstrak adalah penyari yang baik untuk
senyawa yang berkhasiat atau aktif. Penyari tersebut dapat dipisahkan dari
bahan atau senyawa kandungan lainnya.
3. Pemisahan dan pemurnian
Tujuan
tahap ini adalah menghilangkan (memisahkan) yang tidak diinginkan tanpa
mempengaruhi kandungan senyawa yang diinginkan sehingga diperoleh ekstrak yang
lebih murni. Proses-proses pada tahap ini adalah pengendapan, pemisahan dua
cairan, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi, absorbsi, dan penukar ion.
4. Pemekatan atau penguapan
Pemekatan
berarti peningkatan jumlah partikel solut (senyawa terlarut) denga cara
penguapan pelarut, tetapi tidak sampai menjadi kering dan ekstrak dihasilkan
menjadi kental atau pekat.
Setelah tahap
ekstrak, dilakukan pengeringan. Ada beberapa metode pengeringan (Saifudin,
2014), yaitu:
1.
Diuapkan di atas water
bath (penguapan), baik sistem terbuka maupun tertutup.
2.
Diuapkan dengan rotaroy
evaporator, digunakan untuk semua pelarut organik, tidak cocok untuk bahan
berair. Air membutuhkan waktu penguapan yang sangat lama.
3.
Liofilisasi (freeze
dryer), digunakan untuk bahan yang berair, tidak untuk pelarut organik.
Tanaman obat menduduki posisi penting karena menjadi sumber penting dari
penemuan obat. Senyawa bioaktif
terdapat banyak pada spesies tanaman
di bumi. Piper betle L. adalah salah satu tanaman obat yang digunakan dalam obat-obatan sebagai hepatoprotektif, analgesik,
antispasmodik, antidiabetes, antivirus, dan antibakteri (Shah, dkk., 2016).
Sirih
termasuk tanaman sulur-suluran atau merambat. Bagian tanaman yang biasanya
dimanfaatkan adalah daunnya. Menurut Penelope Oldy, penulis buku Handbook of Over The Counter Herbal Medicine,
daun sirih bersifat astringen, diuretik, anti peradangan, dan memperbaiki
sirkulasi darah. Esktraknya juga dapat digunakan, baik secara internal maupun
ekstrnal untuk varises serta mencegah dan menyembuhkan radang gusi dan radang tenggorokan
(Moeljanto dan Mulyono, 2003).
Pemakaian daun sirih untuk tanaman obat
disebabkan adanya minyak atsiri yang dikandungnya. Prof. J. F Eykman, Seorang
ahli kimia pada tahun 1885 melakukan upaya pemisahan minyak atsiri dari daun
sirih. Setelah dipisahkan, ternyata sepertiga dari minyak atsiri terdiri dari
fenol dan sebagian besar adalah kavikol. Kavikol ini yang memberikan bau khas
daun sirih dan memilki daya pembunuh bakteri lima kali lipat dari fenol biasa (Moeljanto
dan Mulyono, 2003).
Fenol dapat menghambat aktivitas bakteri dengan
menghambat proses pembentukan dinding sel atau dengan melisiskan dinding sel
yang sudah terbentuk. Mekanisme antibakteri pada proses penghambatan pertumbuhan
bakteri dapat
dilakukan dari ekstrak
daun sirih hijau. Ekstrak daun sirih dengan pelarut etanol mempunyai aktivitas antibakteri
terhadap beberapa bakteri gram positif dan gram negatif yang salah satunya
adalah Escherichia coli (Syahrinastiti, dkk., 2015).
Hasil
ekstraksi daun sirih hijau berupa ekstrak berwarna hijau pekat dan kehitaman,
berbentuk cairan kental dan memiliki aroma yang kuat. Ekstrak berwarna hijau
tua karena di dalam ekstrak masih mengandung klorofil dari daun sirih hijau.
Aroma ekstrak daun sirih hijau dikarenakan kandungan minyak atsiri. Daun sirih
hijau yang diekstrak dengan pelarut etanol 80% dapat menghasilkan ekstrak yang
mengandung senyawa fenol lebih tinggi daripada pelarut air. Ekstrak etanol daun
sirih hijau lebih efektif daripada diekstrak dengan pelarut air dalam
menghambat pertumbuhan bakteri patogen (Putri, dkk., 2012).
Penggunan daun sirih tidak hanya dimanfaatkan sebagai obat
tradisional, namun dalam penggunaan obat modern pula. Penggunaan daun sirih dalam
obat modern adalah ekstraknya
yang berfungsi sebagai tonik yang
baik
untuk pengobatan nyeri saraf
dan kelelahan saraf,
tonik untuk otak, jantung, dan hati. Selain itu, memegang enzim seperti diastase dan
katalase serta
banyak kandungan asam amino esensial,
kecuali lisin, histidin, dan arginin (Dwivedi dan Salini,
2014).
Klasifikasi dari tanaman sirih hijau adalah sebagi berikut (Tjitrosoepomo,
2013).
Regnum : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Piperales
Familia : Piperaceae
Genus : Piper
Species : Piper betle

Gambar 1. Piper betle
Sumber: Review study on potential
activity of Piper betle, Dwivedi dan Shalini, 2014
BAB III
METODE PERCOBAAN
III.1
Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini, yaitu sendok tanduk,
gelas ukur, timbangan kue, batang pengaduk, blender,
toples, dan sarung tangan (hand sconn).
III.2
Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini, yaitu daun sirih Piper betle, etanol 96 %, kertas saring,
cling wrap, dan tissue roll.
III.3
Cara Kerja
Cara kerja dari percobaan ini, yaitu:
1.
Daun sirih Piper betle dikeringkan dengan
bantuan sinar matahari atau alat pengering, seperti oven.
2.
Dipotong-potong menjadi bagian-bagian
yang lebih kecil.
3.
Daun sirih dihaluskan menggunakan
blender dengan kehalusan tertentu
hingga diperoleh serbuk.
4.
Serbuk daun sirih diayak
menggunakan ayakan tepung.
5.
Daun sirih ditimbang
sebanyak 100 gram menggunakan timbangan kue.
6.
Dimasukkan serbuk daun
sirih yang sudah ditimbang ke dalam toples.
7.
Ditambahkan pelarut
etanol 96 % sebanyak 300 mL.
8.
Diaduk campuran serbuk
daun sirih dengan pelarut tadi hingga bahan terendam sempurna.
9.
Toples ditutup dan
dilekatkan cling wrap pada bagian luar
penutup toples.
10.
Diberi label yang
bertuliskan waktu pengamatan.
11.
Didiamkan 24 jam selama
3 hari.
12.
Pengamatan hari kedua, daun
sirih disaring menggunakan kertas saring dan filtratnya dimasukkan ke dalam botol.
13.
Pengamatan hari ketiga,
dilakukan hal yang sama seperti pada hari kedua.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
IV.1 Gambar Hasil Pengamatan


Gambar 2. Serbuk
simplisia Gambar 3. Hasil maserasi
IV.2 Pembahasan
Maserasi
terlibat perendaman bahan (kasar atau bubuk) dalam wadah bertutup dengan
pelarut dan didiamkan pada suhu kamar untuk jangka waktu minimum
3 hari. Maserasi merupakan cara ekstraksi
yang paling sederhana. Bahan simpilisia yang digunakan dihaluskan berupa serbuk
kasar dan dilarutkan dengan bahan pengekstraksi.
Pada percobaan ini, yang pertama kali dilakukan
adalah pengeringan daun sirih Piper betle.
Pengeringan dilakukan dengan bantuan sinar matahari atau alat pengering,
seperti oven. Pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air yang
terkandung di dalam daun sirih sehingga mudah untuk diekstrak atau
penghancuran. Daun sirih yang sudah kering kemudian dihaluskan menggunakan blender dengan kehalusan tertentu sehingga
berbentuk serbuk. Serbuk daun sirih kemudian diayak menggunakan saringan tepung
untuk memisahkannya dari kotoran-kotoran yang masih tertinggal pada bahan.
Setelah diayak, kemudian
ditimbang menggunakan timbangan kue sebanyak 100 gram. Perbandingan bahan
dengan pelarut adalah 3:1, serbuk daun sirih lalu dimasukkan ke dalam toples
dan ditambahkan pelarut etanol 96 %. Etanol termasuk pelarut polar. Pelarut ini
diharapkan dapat menarik zat-zat aktif yang juga bersifat polar. Etanol dapat
memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut dan tidak mengakibatkan pembengkakan
membran sel.
Kemudian,
campuran serbuk daun sirih dan pelarut tersebut
diaduk hingga bahan seluruhnya terendam oleh pelarut. Hasil dari proses
perendaman ini, yaitu cairan akan menembus dinding sel yang mengandung zat
aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
zat aktif di dalam sel dengan diluar sel sehingga larutan yang terpekat didesak
keluar. Peristiwa tersebut terus berulang hingga terjadi keseimbangan
konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.
Keuntungan
metode maserasi adalah pengerjaannya sederhana untuk dilakukan dan alat-alat yang
digunakan mudah didapatkan. Adapun kerugiaan dari metode ini adalah pengerjaannya
yang lama karena alat-alat yang digunakan cukup sederhana. Selain itu, penyariannya
juga kurang sempurna karena tidak semua sari terekstraksi. Cairan penyari yang
dipakai biasanya berupa air, etanol, atau pelarut organik lainnya. Pilihan pelarut akan menentukan jenis
senyawa diekstraksi dari bahan.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan
yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa ekstraksi daun sirih dengan
metode maserasi menghasilkan zat-zat aktif terlarut selama perendaman. Hal ini ditandai
dengan adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel
dengan di luar sel sehingga larutan yang terpekat akan didesak keluar. Peristiwa
tersebut terus berulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan
di luar sel dan di dalam sel.
V.2 Saran
Sebaiknya alat dan bahan yang digunakan
dalam praktikum dilengkapi. Praktikan juga harus lebih aktif dan serius melakukan
praktikum agar memahami percobaan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwanida, 2015. A
Review on the Extraction Methods Use in Medicinal Plants, Principle, Strength
and Limitation. Journal Medicinal and
Aromatic Plants. 4(3): 1-6.
Damanik,
D. D. P., N.Surbakti dan R.Hasibuan, 2014. Ekstraksi Katekin dari Daun Gambir (Uncaria gambir Roxb) dengan Metode
Maserasi. Jurnal Teknik Kimia. 3(2): 10-14.
Dwivedi,
V dan S.Tripathi, 2014. Review
study on potential activity of Piper betle, Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry. 3(4): 93-98.
Istiqomah,
2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Sokletasi terhadap Kadar
Piperin Buah Cabe Jawa Piperis
rectofructi fructus. Skripsi. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Moeljanto,
R. D dan Mulyono, 2003. Khasiat dan
Manfaat Daun Sirih Obat Mujarab dari Masa ke Masa. Agromedia Pustaka,
Tangerang.
Putra,
A. A. B., N. W.Bogoriani, D.P.Diantariani dan N.L.U.Sumadewi, 2014. Ekstraksi
Zat Warna Alam dari Bonggol Tanaman Pisang (Musa
paradisiacal L.) dengan Metode Maserasi, Refluks, dan Sokletasi. Jurnal Kimia. 8(1):113-119.
Putri, P. H., Wignyanto dan N.Mayang, 2012.
Hasil Ekstraksi Daun Sirih Hijau (Piper
betle L.) sebagai Pengawet Alami pada Bakso Sapi. Jurnal
Pertanian. 2(1): 1-10.
Saifudin,
A., 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder.
Deepublish, Yogyakarta.
Shah, G. A., T.T.Shah dan S.Telang,
2016. Anti-Proliferative
Efficacy of Piper betle Leaf Extracts
Against B16F10 Melanoma in An In-Vivo Experimental Model. World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 5(6):
835-843.
Syahrinastiti, T. A., A.Djamal dan L.Irawati, 2015. Perbedaan Daya Hambat
Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle L.)
dan Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz
dan Pav) terhadap Pertumbuhan Escherichia
coli. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(2):
421-424.
Tjitrosoepomo, G., 2013. Taksonomi
Tumbuhan Spermatophyta. Univeristas Gajah Mada Press, Yogyakarta.